SUKSES SEKOLAHKAN ANAK KE LUAR NEGERI
Tapi, belakangan, ia
menarik bukunya dari peredaran dan meminta maaf kepada orang-orang yang telah
mengikuti jejaknya. Kisahnya bermula saat istrinya sakit. Anak pertama, yang sudah
mapan bekerja di USA, diteleponnya. Tapi, sang anak tidak bisa pulang. Katanya,
banyak meeting yang tidak bisa ditinggalkan.
Anak kedua, sedang
ujian, sehingga tidak bisa kembali ke Indonesia, menjenguk ibunya. Anak ketiga,
baru saja diterima bekerja di sebuah perusahaan IT ternama. Katanya, sebagai
karyawan baru, ia tidak bisa meninggalkan pekerjaan dengan alasan keluarga.
Akhirnya, sang ibu meninggal.
“Tak satu pun anak
saya hadir di pemakaman ibunya. Saya sedih dan terpukul. Saya tidak bisa
menyalahkan siapa-siapa. Karena itu akibat dari saya; (itulah) yang saya
ajarkan pada anak-anak. Sayalah sekarang yang menanggung akibatnya,” kata sang
doktor sambil terisak.
Belakangan, sang
doktor mendalami agama. Ia belajar ajaran-ajaran Nabi. Diantaranya belajar
tentang cara mendidik anak dan lain-lain. Setelah paham agama, sang doktor
merasa selama ini telah salah mendidik anak.
“Saya merasa sudah
menjerusmuskan anak-anak dengan menyekolahkan anak saya ke luar negeri. Mereka
jadi jauh dari agama. Jauh dari pemahaman konsep hidup yang benar, sesuai
dengan tuntunan Rasulullah,” kata sang doktor.
Belakangan, sang
doktor berencana menjual asset-asetnya, membeli lahan yang cukup luas,
membangun pesantren, dan sekaligus tinggal disana. Ia berharap, ke depan, ada
salah satu cucunya mau tinggal bersamanya, belajar di pesantren.
Ada berbagai kisah
serupa dengan yang dialami sang doktor dari Bandung itu. Tak heran, kini banyak
professional yang bergairah mengirim anak-anaknya untuk belajar di pesantren.
Mereka berharap, anak-anaknya tidak mengulang kelemahan orang tuanya dalam
memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Sang Doktor adalah
salah satu korban pendidikan modern yang memandang anak sukses adalah yang
sukses secara materi dan memiliki status sosial tinggi. Untuk meraih sukses
itu, sejak dini anak disekolahkan ke sekolah-sekolah favorit yang tujuan
utamanya bisa melanjutkan kuliah di program studi (jurusan) favorit di
universitas favorit.
Biasanya, para orang
tua memiliki persepsi, bahwa sekolah atau universtas “favorit” adalah sekolah
atau universitas yang lulusannya bisa bekerja di tempat-tempat yang diduga kuat
akan menghasilkan banyak uang. Dan hingga kini, pemerintah membuat kebijakan
yang menempatkan Perguruan Tinggi menjadi sejenis “Balai Latihan Kerja”. Itu
tujuan utamanya.
Itu artinya,
Pendidikan kita belum menjalankan amanah UUD 1945. Bahwa – menurut pasal 31 (3)
– tujuan pendidikan kita adalah untuk meningkatkan keimanan, ketaqwaan, dan
akhlak mulia. Ini tujuan yang utama. Orang yang beradab atau berakhlak mulia
pastilah orang yang memahami hakikat dan tujuan hidupnya di dunia ini.
Tapi saat ini, para
murid – mulai jenjang TK sampai Perguruan Tinggi — dididik terutama untuk bisa
menjadi pekerja yang bisa cari makan. Mereka tidak dididik terutama untuk
menjadi manusia yang baik; apalagi menjadi orang tua yang baik. Tidak heran,
jika banyak orang tua yang tidak memahami, bagaimana mereka bisa melalaikan
kewajibannya dalam mendidik anak.
Padahal, Allah SWT
memerintahkan para orang tua untuk menjaga diri dan keluarganya dari api neraka
(QS 66:6). Caranya, adalah dengan mendidik mereka dengan adab dan ilmu, agar
anak-anak menjadi orang berilmu tetapi juga berakhlak mulia. Yang merusak
masyarakat dan bangsa dan negara bukanlah orang-orang bodoh. Tetapi, masyarakat
rusak akibat dari banyaknya orang-orang berilmu tinggi tetapi tidak beradab
atau akhlaknya bejat.
Untuk menjawab
persoalan inilah, beberapa kali kami selenggarakan “Pelatihan Guru Keluarga”.
Tujuannya untuk membekali orang tua, agar mereka bisa menjadi guru utama bagi
anak-anaknya sendiri. Dengan itu, orang tua insyaAllah bisa menunaikan
kewajibannya dalam mendidik anak dengan benar, dan sekaligus menyiapkan
anak-anaknya menjadi generasi yang hebat, generasi unggul yang beradab. (Tahun
2019, panduan dan materi pelatihan itu telah diterbitkan oleh Pustaka Arofah di
Solo, menjadi buku dengan judul: “Kiat Menjadi Guru Keluarga, Menyiapkan
Generasi Pejuang”.
Konsep ilmu
Hingga kini sangat
tidak mudah bagi orang tua untuk meyakinkan anak-anaknya yang lulus SMA, agar
memilih lembaga pendidikan tinggi yang mengutamakan penguasaan adab dan ilmu
untuk keselamatan iman dan ketinggian akhlak mulia. Kuliah di kampus yang
mengutamakan penguasaan Islam worldview dan pemikiran Islam, dianggap tidak
menjanjikan masa depan gemilang di dunia.
Tujuan meraih gengsi
sosial, gelar akademik, dan ketrampilan kerja masih diletakkan di tempat yang
tertinggi, melebihi tujuan penguatan iman dan akhlak mulia. Banyak orang tua
dan siswa percaya kepada daftar rangking universitas yang dibuat oleh
pemerintah maupun lembaga asing.
Padahal, daftar
ranking itu sama sekali tidak memasukkan kriteria iman, taqwa, dan akhlak
mulia, sebagai kriteria kampus yang unggul. Bahkan, masih banyak perguruan
tinggi Islam yang belum menerapkan konsep adab ilmu dalam menyusun tujuan dan
kurikulum pendidikan di kampusnya.
Kisah sang doktor
dari Bandung itu semoga menyadarkan kita semua, bahwa pendidikan anak –
khususnya di jenjang Pendidikan Tinggi – harus mengutamakan penguasaan Islamic
Worldview, penanaman adab dan akhlak mulia, serta penguasaan ilmu-ilmu fardhu
ain dan fardhu kifayah secara proporsional.
Dalam bahasa
sederhana: “Punya ilmu dan ketrampilan untuk cari makan itu penting. Tapi,
menjadi orang baik dan bisa cari makan, itu lebih penting!”
***********
Penulis: Dr. Adian Husaini
(Pendiri INSISTS, Ketua Program Doktor UIKA Bogor, Penulis Buku dan Pendiri
Pesantren At-Takwa Depok
Sumber : https://www.adianhusaini.id/detailpost/sukses-sekolahkan-anak-ke-luar-negeri-sang-doktor-akhirnya-menyesal
Youtube-nya klik di sini
0 Komentar